RSS

REKONSTRUKSI KONSEP IPS DI INDONESIA

Kurikulum sekolah yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah berlangsung enam tahun. Oleh karena itu, sudah selayaknya kalau KTSP ini ditelaah ulah sesuai dengan perkembangan IPTEK dan realitas kehidupan masyarakat. Pendidikan kita selama ini cenderung menekankan pada materi ajar, sehingga lebih banyak bersifat intelektualistik.
 Hal ini terkait juga dengan penerapan Standar Isi, baik Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar dalam desain kurikulum atau KTSP yang masih tetap berorientasi pada materi. Penguasaan materi dinomorsatukan sementara sikap mental dan kepribadian peserta didik telah lama terabaikan. Demikian pokok-pokok pemikiran yang mengemukakan dalam Seminar Nasional dengan tema “Rekonstruksi Konsep IPS di Indonesia”.
Seminar tersebut diselenggarakan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, Sardiman AM, M.Pd., Prof. Zamroni, Ph.D., dan Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A. ( Universitas Terbuka).
Dalam kesempatan tersebut Sardiman menjelaskan terdapat mismatch dan ketidaksinkronan antara pengertian, maksud, dan tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai studi integratif tentang kehidupan sosial masyarakat dengan dokumen standar isi, baik standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran IPS. Dalam dokumen Permen No. 22 tahun 2006 hal tersebut  masih terpisah-pisah sesuai dengan displin keilmuannya. Kondisi itulah yang memunculkan problem besar di lapangan, utamanya bagi para guru yang secara psikologis terbebani dan menjadi kebingungan.
 Akhirnya pembelajaran IPS tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.  Harus disadari bahwa anak-anak Indonesia tidak dapat hanya dibangun dengan geografi, sosiologi, sejarah, ekonomi, teknik dan seterusnya secara terpisah-pisah. Semua secara bersama-sama memiliki andil mendewasakan peserta didik kita. Sebagai mata pelajaran di sekolah, IPS mestinya lebih bersifat edukatif bukan semata-mata akademis. “Dalam pembelajaran IPS seharusnya lebih menekankan hal-hal yang bersifat kontekstual, penerapan, dan praktik yang relevan dengan realitas kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia, dan tidak terfokus pada materi dan kajian teoritis,” tegas Sardiman.
Menurut Zamroni, arah pendidikan ilmu-ilmu sosial di Indonesia memberikan kontribusi maksimal dalam proses mempercepat pembangunan. Untuk tujuan, materi, dan organisasi pelaksanaan pembelajaran ilmu-ilmu sosial perlu dirumuskan secara lebih komprehensif. Tujuan itu dirumuskan dalam suatu bentuk kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa setelah mengikuti pendidikan pada jenjang tertentu.
Untuk jenjang pendidikan dasar tujuan tersebut paling tidak mencakup empat aspek. Pertama, memiliki kemampuan menjelaskan konsep-konsep dan teori-teori dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, memiliki critical thinking dan kemampuan pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi mereka, Ketiga, memiliki trust dan emphaty serta mengaplikasikan etika dan norma dalam pengambilan keputusan, baik dalam arti substansi maupun prosedural. Keempat, memilki efikasi, kemampuan kontrol diri, kreativitas dan kemampuan untuk melakukan inovasi, serta kemampuan berkerjasama, ucapnya.
Dekan FE UNY, Dr. Sugiharsono, M.Si., saat membuka acara mengatakan, diambilnya tema Rekonstruksi Konsep IPS di Indonesia ini mengingat Pendidikan IPS di Indonesia saat ini, terutama Pendidikan IPS di Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih terjadi tarik ulur konsep yang tidak jelas. Akibatnya, kurikulum IPS di SMP juga menjadi tidak jelas keterpaduannya. Hal itu menjadi beban berat bagi para guru IPS di SMP. Mereka mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan kurikulum IPS secara terpadu dalam pembelajaran. Dari seminar ini diharapkan dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi pengembangan pendidikan IPS di Indonesia. Lebih khusus lagi hasil seminar ini diharapkan dapat mewarnai kurikulum pendidikan IPS di Indonesia nantinya. (Isti/aw).

Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia terdapat 3 jenis program pendidikan sosial yaitu ilmu-ilmu Sosial (IIS), Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) dan Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial (PDIPS). IIS dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan sosial dan humaniora murni, PIPS merupakan program pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah sedangkan PDIPS merupakan program pendidikan guru IPS yang dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS (Sosial).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk menghasilkan guru IPS dan PPKN yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep esensial ilmu-ilmu sosial dan materi disiplin ilmu lainnya dan mampu membelajarkan peserta didiknya secara bermakna. Oleh karena itu, dalam program pendidikan ini dituntut untuk mempelajari 3 kelompok program kurikuler yaitu kelompok mata keilmuan sosial dalam rangka pembelajaran IPS, teknologi pembelajarna IPS dan kurikulum serta pembelajaran IPS persekolahan. Konten dari ketiga kelompok mata kuliah ini perlu dilihat secara konseptual sebagai suatu sistem pengetahuan terpadu dalam rangka perkembangan kemampuan kepribadian, dan kewenangan guru IPS dan PPKN.
Konsep “Social Studies” secara umum berkembang di Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah menujukkan reputasi akademis dalam bidang sosial, seperti dengan berdirinya National Council for The Social Studies (NCSS)  pada tanggal 20-30 November 1935. dalam pertemuan ini, disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum” yaitu menempatkan bahwa social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada tahun 1937, pilar historis-epiostemologis, social studies yang pertama, berupa suatu definisi tentang “social studies” yang berawal dari Edgar Bruce Wesley yaitu The Social Studies Are The Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose yang artinya bahwa “The Social Studies” adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Kemudian dikembangkan bahwa social studies berisikan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan filsafat. Berdasarkan pengamatan Edgar Bruce Wesley selama 40-an tahun bahwa bidang social studies mengalami perkembangan dengan adanya ketakmenentuan ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan terutama pada tahun 1940-1970-an.
Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit dalam menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies” mendapat serangan dari segala penjuru yang pada dasarnya berkisar pada pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu revolusi dalam bidang social studies yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini terpikat oleh “social studies” karena pada saat pemerintahan federal menyediakan dana yang sangat besar untuk pengembangan kurikulum. Dengan dana ini, para ahli bekerja sama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut dikenal sebagai gerakan “The New Social Studies”.
Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk mendapatkan The New Social Studies ini belum menjadi kenyataan. Isu yang terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi, tujuan pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian mengenai isi pembelajaran. Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies, disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education dan di lain pihak terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education.    Hal ini merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu, merupakan dampak dari opini publik berkaitan dengan perang dunia II, perang dingin, dan perang korea serta kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan persekolahan.
Gerakan The New Social Studies yang menjadi pilar dari perkembangan Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan bahwa “Social Studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan siswa. Oleh karena itu, sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan Social Studies kepada taraf higher level of Intellectual Pursuit yakni mempelajari ilmu sosial secara mendasar. Dengan orientasi tersebut maka dimulailah era modus pembelajaran Social Studies Education. Dari berbagai pandangan mendorong timbulnya upaya mentransformasikan “Social Studies” ke dalam “Social Science” dan mengajarkan sebagai disiplin Akademik yang terpisah. Gerakan inilah yang mendorong berdirinya The Social Science Education Concortium (SSEC) yang kemudian menerbitkan bukunya yang pertama Concept and Structure in The New Social Studies Curriculum.
Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari orientasi pada disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan interdisipliner. Definisi “Social Studies” dan pengidentifikasian “Social Studies” atas tiga tradisi pedagogis dianggap sebagai pilar utama dari “Social Studies” pada tahun 1970-an. Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal yaitu pertama Social Studies merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, kedua misi utama Social Studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis, ketiga sumber utama kontek Social Studies adalah social sciences dan humanities, keempat dalam upaya penyiapan warga negara yang demokratis (Barr dkk, 1978) pada tahun 1980-1990-an pemikiran mengenal Social Studies yang sebelumnya dilanda masalah, secara konseptual telah dapat diatasi.
Dilihat dari karakteristik dan tujuannya, Social Studies Education atau Social Studies yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic Responsibility and Active Civic Participation sebagai salah satu esensinya. Pada tahun 1992, The Board of Directors of The National Council fot The Social Studies mengadopsi visi terbaru mengenai Social Studies yang kemudian diterbitkan dalam dokumen resmi NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectations of Excellence; Curricullum Standars for Social Studies.


Paradigma Pendidikan IPS Indonesia

Pembahasan tentang pendidikan IPS tidak bisa dilepaskan dari interaksi fungsional perkembangan masyarakat Indonesia dengan sistem dan praktis pendidikannya. Interaksi fungsional disini adalah bagaimana perkembangan masyarakat mengimplikasi terhadap tubuh pengetahuan pendidikan IPS dan bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS turut memfasilitasi pengembangan aktor sosial dan warga negara yang cerdas dan baik, yang dapat memberikan kontribusi yang bermakna terhadap perkembangan masyarakat Indonesia.     Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “Social Studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negar ayang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for The Social Studies (NCSS)
Konsep Pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan yaitu di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang IPS sekuat pengaruh NSCC atau SSEC dan pembelajaran IPS sangat tergantung pada pemikiran individual atau kelompok pakar. Konsep IPS pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973 yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah, pendidikan kewarganegaraan / Social Studies sebagai mata pelajaran sosial terpadu.

Dalam kurikulum 1975 Pendidikan IPS menampilkan empat profil yaitu :
Pendidikan Moral Pancasila menggantikan pendidikan kewarganegaraan yang mewadahi tradisi “Citizenship transmission”
Pendidikan IPS terpadu untuk SD
Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP
Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi untuk SMA
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah yaitu :
PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan
PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang merupakan penyeleksian secara ilmiah dan meta psiko pedagogis dari ilmu sosial humaniora dan disiplin lain yang relevan untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS.
KONSEP PENDIDIKAN IPS
A. Pengertian IPS

IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan “Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

1. Ilmu Sosial (Sicial Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.

2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.

3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to aamake informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.

B. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan Sosial
Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut Social Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Pengembangan Pendidikan IPS SD 1 - 9
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar materi pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yangn dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar