REKONSTRUKSI KONSEP IPS DI INDONESIA
Kurikulum sekolah yang dikenal dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah berlangsung enam tahun. Oleh
karena itu, sudah selayaknya kalau KTSP ini ditelaah ulah sesuai dengan
perkembangan IPTEK dan realitas kehidupan masyarakat. Pendidikan kita selama
ini cenderung menekankan pada materi ajar, sehingga lebih banyak bersifat
intelektualistik.
Hal
ini terkait juga dengan penerapan Standar Isi, baik Standar Kompetensi maupun
Kompetensi Dasar dalam desain kurikulum atau KTSP yang masih tetap berorientasi
pada materi. Penguasaan materi dinomorsatukan sementara sikap mental dan
kepribadian peserta didik telah lama terabaikan. Demikian pokok-pokok pemikiran
yang mengemukakan dalam
Seminar Nasional dengan tema “Rekonstruksi Konsep IPS di Indonesia”.
Seminar tersebut diselenggarakan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) bekerjasama dengan
Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY). Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, Sardiman AM,
M.Pd., Prof. Zamroni, Ph.D., dan Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A. (
Universitas Terbuka).
Dalam kesempatan tersebut Sardiman
menjelaskan terdapat mismatch dan ketidaksinkronan antara
pengertian, maksud, dan tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
sebagai studi integratif tentang kehidupan sosial masyarakat dengan dokumen
standar isi, baik standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran
IPS. Dalam dokumen Permen No. 22 tahun 2006 hal tersebut masih
terpisah-pisah sesuai dengan displin keilmuannya. Kondisi itulah yang
memunculkan problem besar di lapangan, utamanya bagi para guru yang secara
psikologis terbebani dan menjadi kebingungan.
Akhirnya pembelajaran IPS tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Harus disadari bahwa anak-anak Indonesia tidak
dapat hanya dibangun dengan geografi, sosiologi, sejarah, ekonomi, teknik dan
seterusnya secara terpisah-pisah. Semua secara bersama-sama memiliki andil
mendewasakan peserta didik kita. Sebagai mata pelajaran di sekolah, IPS
mestinya lebih bersifat edukatif bukan semata-mata akademis. “Dalam
pembelajaran IPS seharusnya lebih menekankan hal-hal yang bersifat kontekstual,
penerapan, dan praktik yang relevan dengan realitas kehidupan sosial
kemasyarakatan di Indonesia, dan tidak terfokus pada materi dan kajian
teoritis,” tegas Sardiman.
Menurut Zamroni, arah pendidikan ilmu-ilmu
sosial di Indonesia memberikan kontribusi maksimal dalam proses mempercepat
pembangunan. Untuk tujuan, materi, dan organisasi pelaksanaan pembelajaran
ilmu-ilmu sosial perlu dirumuskan secara lebih komprehensif. Tujuan itu
dirumuskan dalam suatu bentuk kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa setelah
mengikuti pendidikan pada jenjang tertentu.
Untuk jenjang pendidikan dasar tujuan
tersebut paling tidak mencakup empat aspek. Pertama, memiliki kemampuan
menjelaskan konsep-konsep dan teori-teori dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua,
memiliki critical thinking dan kemampuan pengambilan keputusan yang langsung
mempengaruhi mereka, Ketiga, memiliki trust dan emphaty serta mengaplikasikan
etika dan norma dalam pengambilan keputusan, baik dalam arti substansi maupun
prosedural. Keempat, memilki efikasi, kemampuan kontrol diri, kreativitas dan
kemampuan untuk melakukan inovasi, serta kemampuan berkerjasama, ucapnya.
Dekan FE UNY, Dr. Sugiharsono, M.Si., saat
membuka acara mengatakan, diambilnya tema Rekonstruksi Konsep IPS di Indonesia
ini mengingat Pendidikan IPS di Indonesia saat ini, terutama Pendidikan IPS di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih terjadi tarik ulur konsep yang tidak
jelas. Akibatnya, kurikulum IPS di SMP juga menjadi tidak jelas keterpaduannya.
Hal itu menjadi beban berat bagi para guru IPS di SMP. Mereka mengalami
kesulitan untuk mengimplementasikan kurikulum IPS secara terpadu dalam
pembelajaran. Dari seminar ini diharapkan dapat memberikan hasil yang
bermanfaat bagi pengembangan pendidikan IPS di Indonesia. Lebih khusus lagi
hasil seminar ini diharapkan dapat mewarnai kurikulum pendidikan IPS di
Indonesia nantinya. (Isti/aw).
Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia terdapat 3
jenis program pendidikan sosial yaitu ilmu-ilmu Sosial (IIS), Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (PIPS) dan Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial (PDIPS).
IIS dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan sosial dan humaniora
murni, PIPS merupakan program pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah
dan luar sekolah sedangkan PDIPS merupakan program pendidikan guru IPS yang
dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS (Sosial).
Tujuan utama dari program ini adalah untuk
menghasilkan guru IPS dan PPKN yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep
esensial ilmu-ilmu sosial dan materi disiplin ilmu lainnya dan mampu
membelajarkan peserta didiknya secara bermakna. Oleh karena itu, dalam program
pendidikan ini dituntut untuk mempelajari 3 kelompok program kurikuler yaitu
kelompok mata keilmuan sosial dalam rangka pembelajaran IPS, teknologi
pembelajarna IPS dan kurikulum serta pembelajaran IPS persekolahan. Konten dari
ketiga kelompok mata kuliah ini perlu dilihat secara konseptual sebagai suatu
sistem pengetahuan terpadu dalam rangka perkembangan kemampuan kepribadian, dan
kewenangan guru IPS dan PPKN.
Konsep “Social Studies” secara umum
berkembang di Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah menujukkan
reputasi akademis dalam bidang sosial, seperti dengan berdirinya National
Council for The Social Studies (NCSS) pada tanggal 20-30 November 1935. dalam
pertemuan ini, disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum”
yaitu menempatkan bahwa social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada
tahun 1937, pilar historis-epiostemologis, social studies yang pertama, berupa
suatu definisi tentang “social studies” yang berawal dari Edgar Bruce Wesley
yaitu The Social Studies Are The Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose
yang artinya bahwa “The Social Studies” adalah ilmu-ilmu sosial yang
disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Kemudian dikembangkan bahwa social
studies berisikan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik,
sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan filsafat. Berdasarkan
pengamatan Edgar Bruce Wesley selama 40-an tahun bahwa bidang social studies mengalami perkembangan dengan adanya
ketakmenentuan ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan terutama pada
tahun 1940-1970-an.
Pada periode ini, merupakan periode yang
sangat sulit dalam menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an,
“social studies” mendapat serangan dari segala penjuru yang pada dasarnya
berkisar pada pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai
dan sikap demokratis kepada para pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu
gerakan akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang
sebagai suatu revolusi dalam bidang social studies yang dipelopori oleh para
sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini terpikat oleh
“social studies” karena pada saat pemerintahan federal menyediakan dana yang
sangat besar untuk pengembangan kurikulum. Dengan dana ini, para ahli bekerja
sama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang
sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut
dikenal sebagai gerakan “The New Social Studies”.
Namun demikian, sampai tahun 1970-an
ternyata gagasan untuk mendapatkan The New Social Studies ini belum menjadi
kenyataan. Isu yang terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya
indoktrinasi, tujuan pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian
mengenai isi pembelajaran. Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara
dua visi social studies, disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan
berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education dan di lain
pihak terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang
cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal
ini merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi
kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa.
Selain itu, merupakan dampak dari opini publik berkaitan dengan perang dunia
II, perang dingin, dan perang korea serta kritik publik terhadap belum
terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis
dalam praktik pendidikan persekolahan.
Gerakan The New Social Studies yang menjadi
pilar dari perkembangan Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari
kesimpulan bahwa “Social Studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam
mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan siswa. Oleh karena itu,
sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan
Social Studies kepada taraf higher level of Intellectual Pursuit yakni
mempelajari ilmu sosial secara mendasar. Dengan orientasi tersebut maka
dimulailah era modus pembelajaran Social Studies Education. Dari berbagai
pandangan mendorong timbulnya upaya mentransformasikan “Social Studies” ke
dalam “Social Science” dan mengajarkan sebagai disiplin Akademik yang terpisah.
Gerakan inilah yang mendorong
berdirinya The Social Science Education Concortium (SSEC) yang kemudian
menerbitkan bukunya yang pertama Concept and Structure in The New Social
Studies Curriculum.
Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari
orientasi pada disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk
mencari hubungan interdisipliner. Definisi “Social Studies” dan
pengidentifikasian “Social Studies” atas tiga tradisi pedagogis dianggap
sebagai pilar utama dari “Social Studies” pada tahun 1970-an. Dalam definisi
tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal yaitu pertama Social Studies
merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, kedua misi utama Social Studies
adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis,
ketiga sumber utama kontek Social Studies adalah social sciences dan
humanities, keempat dalam upaya penyiapan warga negara yang demokratis (Barr
dkk, 1978) pada tahun 1980-1990-an pemikiran mengenal Social Studies yang
sebelumnya dilanda masalah, secara konseptual telah dapat diatasi.
Dilihat dari karakteristik dan tujuannya,
Social Studies Education atau Social Studies yang dipikirkan untuk abad ke-21
masih tetap menempatkan pendidikan kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic
Responsibility and Active Civic Participation sebagai salah satu esensinya.
Pada tahun 1992, The Board of Directors of The National Council fot The Social
Studies mengadopsi visi terbaru mengenai Social Studies yang kemudian
diterbitkan dalam dokumen resmi NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectations
of Excellence; Curricullum Standars for Social Studies.
Paradigma Pendidikan IPS Indonesia
Pembahasan tentang pendidikan IPS tidak bisa
dilepaskan dari interaksi fungsional perkembangan masyarakat Indonesia dengan
sistem dan praktis pendidikannya. Interaksi fungsional disini adalah bagaimana
perkembangan masyarakat mengimplikasi terhadap tubuh pengetahuan pendidikan IPS
dan bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS turut memfasilitasi pengembangan aktor sosial
dan warga negara yang cerdas dan baik, yang dapat memberikan kontribusi yang
bermakna terhadap perkembangan masyarakat Indonesia. Pemikiran
mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran
“Social Studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negar ayang memiliki
pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam reputasi
tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat
disimak dari berbagai karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council
for The Social Studies (NCSS)
Konsep
Pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat
sukar karena dua alasan yaitu di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang
IPS sekuat pengaruh NSCC atau SSEC dan pembelajaran IPS sangat tergantung pada
pemikiran individual atau kelompok pakar. Konsep IPS pertama kalinya masuk ke
dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973 yakni dalam Kurikulum Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum SD 8 tahun
PPSP digunakan istilah, pendidikan kewarganegaraan / Social Studies sebagai
mata pelajaran sosial terpadu.
Dalam kurikulum 1975 Pendidikan IPS menampilkan empat profil
yaitu :
Pendidikan Moral Pancasila menggantikan pendidikan
kewarganegaraan yang mewadahi tradisi “Citizenship transmission”
Pendidikan IPS terpadu untuk SD
Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP
Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, geografi dan ekonomi untuk SMA
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di
Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah yaitu :
PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan
penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diorganisasikan secara
psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan
PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang
merupakan penyeleksian secara ilmiah dan meta psiko pedagogis dari ilmu sosial
humaniora dan disiplin lain yang relevan untuk tujuan pendidikan profesional
guru IPS.
KONSEP PENDIDIKAN IPS
A. Pengertian IPS
IPS merupakan suatu program pendidikan dan
bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam
nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun
ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan
National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social
Science Education” dan “Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara
pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi,
ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi,
dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah
tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social
Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1. Ilmu Sosial (Sicial Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang
Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya
dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial
merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial
secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada
kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah
cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara
perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu
Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial
bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih
merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang
Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut :
Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan
bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari
literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah
“Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama
sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun
1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga
ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan
ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies
(NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the integrated
study of the science and humanities to promote civic competence. Whitin the
school program, socisl studies provides coordinated, systematic study drawing
upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as
appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The
primary purpose of social studies is to help young people develop the ability
to aamake informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a
culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah
merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari
pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang
Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial,
sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih
ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi
atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti:
geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
B. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan Sosial
Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia
adalah berasal dari Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut Social
Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah
di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi
Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia
menjadi tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya Social studies
dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena
situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat
terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk
asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan
dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu
tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara
dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun
l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan
dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut
merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial
ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha
keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu
bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin
pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi
tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah
dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika
lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan
civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu
Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social
Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para
pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan
sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik,
dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup
bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus
menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka
sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Pengembangan
Pendidikan IPS SD 1 - 9
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam
kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan dan
pengorganisasian materi IPS. Agar materi pelajaran IPS lebih menarik dan lebih
mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil
dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil
dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan
masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna
lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit
dari Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam
kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika
Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau,
termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang
akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang
pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa
Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan
lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara
lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan
kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan
dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan
sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga
produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan
perubahan kurikulum kembali yangn dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan Sosial.
Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif berbagai
perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan
keadaan dan kebutuhan setempat.
0 komentar:
Posting Komentar